Ditengah menyaksikan atraksi Lompat Batu di Desa Adat Bawomataluo Nias ada anak-anak yang selalu menemani setiap pengunjung. Mereka tidak hanya menawarkan cindera mata, tetapi juga memberikan informasi wisata dengan lugas.
Lewat mereka lah aku tahu mengapa ada atraksi Lompat Batu. Dulu pada saat masih sering terjadi perang antar suku, lompat batu merupakan syarat bagi prajurit desa agar bisa ikut berperang. Dengan kemampuan tersebut mereka diyakini dapat menerobos benteng pertahanan musuh.
Namun, seiring dengan perkembangan jaman tradisi itu kini berubah menjadi olahraga tradisional yang menarik bagi wisatawan.
Hampir semua desa di Nias Selatan memiliki atraksi Lompat Batu, tetapi khusus untuk di desa ini terbilang spesial karena berada di desa adat yang mempertahankan budaya dan tradisi seperti bentuk rumah yang masih belum berubah sejak dibangun beberapa tahun lalu bahkan ada rumah besar yang dihuni bangsawan dibangun pada tahun 1830-an.
Mereka juga mempunyai aturan harus menghormati para tamu yang berkunjung, jika membuat tamu marah atau tersinggung dan didengar oleh ketua adat maka yang bersangkutan akan dihukum dengan denda 1 ekor babi dan 30 gram emas.
Terlepas dari aturan di atas, masyarakat dan anak-anak di desa ini sangat ramah. Mereka memberikan semua informasi yang kita perlukan tanpa pamrih, mengajarkan bahasa daerah, bahkan anak-anak tersebut menawarkan untuk menginap di rumah adat mereka dengan gratis.
Dibalik keceriaan anak-anak tersebut ternyata mereka juga memiliki cita-cita yang tinggi. Atello (11 tahun) bercita-cita menjadi tentara, Marulian anak kelas 5 SD ingin menjadi polisi, Jules (12 tahun) ingin menjadi pesepakbola terkenal seperti Boaz Salossa. Tapi, yang pasti saat remaja nanti mereka ingin merasakan meloncati batu setinggi 2,1 meter itu karena jika bisa melompati batu itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang laki-laki.
Seperti Polo (21 tahun) dan Sony (19 tahun) yang menjadi pelompat batu hari itu, mereka bangga bisa menjadi atlet Loncat Batu di desanya, setidaknya di usia belia mereka bisa membantu kedua orangtuanya untuk menambah biaya hidup yang semakin tinggi.
Dan, saat rombongan kami akan meninggalkan desa, anak-anak tersebut ramai-ramai mengantarkan kami sambil bernyanyi-nyanyi. Menuruni anak tangga yang berjumlah 86 buah itu sampai memasuki kendaraan yang kami tumpangi. Sungguh suatu pengalaman yang berkesan berjumpa dengan anak-anak Desa Bawomataluo. Mereka selalu terlihat ceria dan bahagia walaupun berada ditengah segala keterbatasan.
0 comments:
Post a Comment