Hari masih gelap ketika kami tiba di Tanjung Bira setelah menempuh perjalanan sejauh 447 km dari Tana Toraja. Melewati kota-kota Makale, Enrekang, Sidrap, Watampone, Sinjai dan Bulukumba. Kurang lebih memakan waktu sekitar 11 jam.
Sesuai dengan rencana awal, kami akan menginap di tenda di tepi Pantai Pasir Putih Tanjung Bira. Saya berjalan dalam gelap, menuruni tangga menuju tenda yang sudah disediakan. Menjatuhkan ransel dan segera merebahkan diri karena badan sudah terlalu lelah. Dalam hitungan detik sudah terlelap.
Deburan ombak sayup-sayup terdengar. Cahaya matahari pagi menyusup ke dalam tenda. Dengan mata berat dan muka bantal sedikit memaksakan diri untuk bangun untuk mengabadikan suasana matahari terbit.
Gambar Panorama Pantai Pasir Putih Tanjung Bira
Selanjutnya kami mengunjungi tempat pembuatan kapal Phinisi. Kapal layar tradisional khas asal Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi ini dikenal sebagai kapal yang tangguh mengarungi lautan seganas apapun. Sudah ada sejak berabad-abad lalu, diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1.500an dan masih bertahan hingga kini. Bahkan pemerintah pernah membuat kapal Phinisi dengan nama "Phinisi Nusantara" dan berhasil mengelilingi dunia. Luas biasa!
Tempat pembuatan kapal Phinisi yang kami kunjungi berada di Desa Tanah Beru, Kecamatan Banto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Pemiliknya Bapak Sarifudin memaparkan bahwa pembuatan kapal phinisi ini sudah dilakukan oleh kakek buyutnya. Jadi sudah turun temurun. Ilmu yang didapatnya pun sangat sederhana dan lebih banyak otodidak.
Tidak ada gambar desain dalam setiap pembuatan kapalnya. Cukup jelaskan panjang kapal yang diinginkan dan timnya akan segera membuatnya dalam kurun waktu 3-6 bulan. Tergantung beratnya mulai dari 1 ton hingga 100 ton. Adapun biaya pembuatan kapal dimulai dari Rp 30 juta dan bahkan beliau pernah mendapat order pembuatan kapal senilai Rp 10 Milyar dari pembeli asal Amerika Serikat.
Bahan baku utama pembuatan kapal Phinisi ini adalah kayu besi yang didatangkan dari Kendari. Bahan kayu lainnya adalah kayu biti sebagai bahan pendukung. Beliau menjamin bahwa kapal Phinisi buatannya bisa bertahan selama puluhan tahun dan sudah terbukti hingga saat ini tidak komplain dari pembelinya. Selesai berbincang kami diajak mengunjungi kediaman Pak Sarifudin yang sederhana melanjutkan pembicaraan. Namun karena waktu yang padat,kami harus meninggalkan tempat tersebut karena akan mengunjungi destinasi lain yaitu pemukiman Suku Kajang di Desa Tanatoa, Bulukumba.
Suku Kajang berada di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba dengan luas wilayah 3000 hektar, 600 diantaranya hutan adat. Suku ini dikenal sebagai suku yang menolak gaya hidup modern. Di desa yang jumlah penduduknya sekitar 3.947 jiwa tersebut tidak boleh ada listrik, tidak boleh ada peralatan elektronik, tidak boleh ada kendaraan bermotor dan segala hal yang berbau modern lain. Mirip dengan suku Baduy di Banten. Peraturan adat lainnya adalah setiap tamu yang berkunjung harus menggunakan pakaian hitam hitam. Termasuk penduduk desa Tana Toa juga harus menggunakan pakaian warna gelap.
Saat memasuki Desa Tana Toa kami disambut oleh para tetua, mereka menyambut kami dengan atraksi bakar linggis. Jadi linggis dibakar hingga berwarna merah dan salah satu tetua yang sudah berusia 99 tahun memegang besi tersebut, mengulas-ulas ke bagian kaki dan tangannya, namun tidak terjadi apa-apa. Kami semua ditawari untuk mencoba memegang besi tersebut. Awalnya ragu, namun setelah diyakinkan sayapun mencobanya. Ternyata tidak panas, hanya hangat seperti ujung luar knalpot motor. Namun ketika dijatuhkan ke dalam daun kering seketika daun itu hangus terbakar.
Itulah salah satu kelebihan dari suku Kajang. Atraksi ini dimaksudkan jika ada pencuri di desa tersebut dan tidak ada yang mau mengaku, maka orang-orang yang dicurigai atau berada di sekitar tempat kejadian disuruh memegang linggis panas tersebut dan jika ada yang tangannya terbakar dialah pencurinya.
Selanjutnya kami diajak memasuki ke bagian dalam desa. Nampak beberapa penduduk yang sedang mandi di sebuah sungai yang hampir kering. Termasuk anak-anak yang sedang mengambil air dan membawa ke rumahnya dengan jarak lumayan jauh. Rencananya kami akan mengunjungi ketua adat Amma Toa namun dengan berbagai syarat : tidak boleh di foto dan tidak boleh ada rekaman pembicaraan. Entah apa alasan dari syarat tersebut.
Akhirnya kami bisa menemui kepala adat Amma Toa dirumahnya yang bersahaja. Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu hanya seukuran rumah tipe 21. Hanya ada satu ruangan tidur dan ruangan utama yang bersatu dengan dapur.
Amma Toa duduk bersila di pojok ruangan. Sang juru bicara memperkenalkan maksud dan tujuan kedatangan kami. Mereka menggunakan bahasa Konjo, yaitu bahasa mereka sendiri sehingga kami tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Namun dari ekspresi wajah Amma Toa yang sangat berwibawa, terlihat beliau kadang terlihat senang, kadang juga terlihat marah dengan mengetuk-ngetukan keris kecil yang selalu dipegangnya.
Mereka asyik mengobrol sekitar setengah jam dan kami hanya bengong tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kami memberi isyarat untuk pamit dan disadari oleh Amma Toa. Sebelum pulang kami semua bersalaman kembali dan ditanya nama masing-masing, sebagai bentuk hormat Amma Toa menyebut kembali nama kita yang disebutkan tadi.
Suku Kajang adalah salah satu kearifan lokal dari Bulukumba Sulawesi Selatan yang keberadaannya patut dipertahankan untuk menjaga kebudayaan nusantara.
Perjalanan kami lanjutkan kembali. Kami harus segera menuju Pelabuhan Bajoe, untuk mengejar kapal ferry yang akan mengantar tim Terios 7 Wonder menuju Pelabuhan Kolaka di Sulawesi Tenggara, propinsi ke-6 dan terakhir yang akan kami kunjungi.
|
0 comments:
Post a Comment